PROBLEMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
A. Problema
Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
1.
Keanekaragaman Identitas Budaya Daerah
Keanekaragaman ini menjadi modal
sekaligus potensi konflik. Keanekaragaman budaya daerah memang memperkaya
khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun indonesia yang
multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan
menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul
jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan
pemahaman pada berbagai kelompok budaya lainnyabini justru dapat menjadi
konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di indonesia
dilatarbelakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras.
Dalam mengantisipasi hal itu,
keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan
tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi
konflik dapat terkoreksi secara dini untukditempuh langkah-langkah
pemecahannya, termasuk didalamnya melalui pendidikan multikultural. Dengan
adanya pendidikan multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah
tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati, dan bisa saling berkomunikasi.
2.
Pergeseran Kekuasaan Dari Pusat Ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan
demokratisasi, indonesia dihadpkan pada beragam tantangan baru yang kompleks.
Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena
budaya, terjadinya pergeseran kekuasan dari pusat ke daerah membawa dampak bear
terhadap pengakuan buday lokal dan keragamannya. Bila pada masa orde baru,
kebijakan kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka
kini tidal lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi
diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dekembangkan dalam konteks budaya lokal
masing-masing. Ketika suatu bersentuhan dengan kekuasan maka berbagai hal dapat
dimanfaatkan untuk merebut kekuaasan ataupum melanggengkan kekuasaan itu,
termasuk di dalamnyanisu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk
menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan
tuntunan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi
sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang
dierlukan agar putra-putra daerah itu
ikut memikirkan dan berpartipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya
tentu adlah adanya asa kesetaraan dan persamaan. Namun, bila isu ini terus
menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang
sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya
iri,keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang
destruktif ketika persoalan itu muncul di antar orang yang termasuk dalam putra
daerah dan pendatang.
3.
Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan
adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluralitas negeri
ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan
ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi
sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan
yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan
keliru banyal dilakukan orang dengan menyamakan antara pancasila itu dengan
ideologi orde baru yang harus ditinggalkan. Pada masa orde baru kebijakan
disarankan terlalu tersentralisasi. Sehingga ketika orde baru tumbang, maka
segala hal yang menjadi dasar orde baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan
diperbaharui termasuk di dalanya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde
Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap
perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara
edukatif , persuasif, dan manusiawi bukan dengan pegerahan kekuatan. Sejarah
telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini.
Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan
menghilangkan isu ynag dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini
4. Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang
diperlukan. Namun yang salah aadlah fanatisme senpit, yang menganggap bahwa
kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompk lain harus dimusuhi.
Gejala fanatisme yang sempit banyak menimbulkan korban dan banyak terjadi di
tanah air. Gejala Bonek (bondo nekat) dikalangan suporter sepak bola nampak menggejala
di tanah air. Kecintaan pada klub sepak
bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap
kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini tidak
sehat. Terjadi pelemparan terhadap pelemparan pemain lawan dan pengerusakan
mobil dan benda-benda yang ada di sekitar setadion ketika tim kesayangannya
kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan pada korps
memang baik dan sngat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila
ditunjukkan dengan bersikap memusuhikelompok lain dan nberprilaku menyerang
kelompok lain maka fanatisme sempit menjadi hal yang destruktif. Terjadinya
perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat
tentara nasional indonesia yang kerap yerjadi di tanah air ini juga merupakan
contoh dari fantisme sempit. Aaplagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu
agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah) maka akan dapat
menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
5. Konflik Kesatuan Nasional dan
Multikultural
Ada tarik menarik antara
kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin
mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional.
Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini
dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Aadnya Gerakan Aceh Merdeka
di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini
berubah menjadi tekanan dan pengerahan kekuatan bersenjata. Hl ini justru
menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini
bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbeddaaan pendapat ini
dapat di selesaikan dengan damai dan beradab.
6. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata diantara
Kelompok Budaya
Kejadian yang Nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang
lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat
warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga
asli. Jadi, beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya
ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak
terjadi di tanah air ini. Apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali
terjadi karena orang mengalami tekanan hebat dibidang ekonomi. Bahkan ada yang
demi selembar kertas dua puluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi
yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang
terungkap dimedia masa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi utuk melakukan
tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan
menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap
menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini Nampak dari gejala
perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab
dalan berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi symbol kemewahan
dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga
akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan
sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti paku ketika
mobil itu di parker di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak darikelompok
tertindas ini.
7. Keberpihakan yang Salah dari Media Masa, Khususnya
Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa
Diantara media masa, tentu ada ideology yang sangat
dijunjung tinggi dan sangat dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak
public untuk mengetahui kehendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap
dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu
yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu, yang justru
dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat
pemerintah yang banyak dilansir dimedia masa dan tidak mendapat “hukuman yang
setimpal” baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan
budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu
sangat layak dijual dan selalu mendapatkan perhatian publik, tetapi kalau terus
menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan
dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan
dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap
hari diudarakan dapat membentuk opini public yang negatif. Sehingga kesan kawin
cerai di antara artis itu sebagai budaya barudan menjadi tren yang biasa
dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan.
B.
Problem Penyakit Budaya
Prasangka, Stereotipe, Etnosentrisme, Rasisme, Diskriminasi, Dan Scape Gating
1. Prasangka
Menurut Allport, “prasangka adalah antipasti
berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipasti itu bisa
dirasakan atau dinyatakan. Antipasti juga bisa langsung ditunjukkan kepada
kelompok atau individu dari kelompok tertentu.” Allport sangat menekankan
antipasti pada antipasti kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap
positif atau negatif berdsarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari
kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis
pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan.
Prasangka yang berbasis ras kita sebut rasisme, sedangkan yang berbasis etnis
disebut etnisme.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau
hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap
curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka,
emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa
memakai pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila
prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berfikir logis dan obyektif
dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.
Definisi Allport ini disanggah oleh psikholog
Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter (authoritarian personality) mengemukakan
melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selatan AS. Ia
menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada
dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian, kita
tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul dari
pribadi berprasangka (prejudiced persons)
yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap,
pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran,
sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka
prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi
diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari
hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat
melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif),
kognitif (selalu berfikir tentang suatu stereotipe) dan konasi (kecenderungan
berperikalu diskriminatif).
Prasangka didasarkan oleh sebab-sebab seperti:
a. Generalisasi
yang keliru pada perasaan.
b. Stereotipe
antaretnik
c. Kesadaran
“in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok
lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “kami”.
2. Stereotipe
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap
seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia
berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif maupun
negative. Verdeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap dan juga
karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif
maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada
kelompok tertentu. Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotipe adalah
keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang
cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif
atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kcenderungan untuk memberi label
atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu
diatasi adalah stereotipe yang negatif atau memandang rendah kelompok lain.
Untuk mengatasinya, kita perlu memberi informasi
yang benar dan lebih komprehensif tentang sesuatu hal sehingga stereotipe tidak
tumbuh. Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita
perlu memberi informasi yang benar tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
suku, ras, agama dan antar golongan. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986)
mengemukakan tig aspek esensial dari stereotipe:
a. Karakter
atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaki,
gender dan etnis. Misalnya wanita itu suka bersolek.
b. Bentuk
atau sifat perilaku turun temurun sehingga seolah-olah melekat pada semua
anggota kelompok. Misalnya orang Ambon itu keras.
c. Penggeneralisasian
karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada individu yang
menjadi anggota kelompok tersebut.
Stereotipe itu
besifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil
pengalaman dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok kita
sendiri. Hewstone dab Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses
stereotipe:
a. Proses
stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan
kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan
sifat psikhologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan,
semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
b. Sumber
dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang
hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
c. Stereotipe
menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompoklain
(out group).
d. Stereotipe
menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3. Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham-paham yang pertama
kali diperkenalkan oleh Willian Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang
beraliran interaksionisme. Ia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya
individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus
berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan ang
antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada
folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang
mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang
disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma
dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.
4.
Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa Prancis dan Italia
“razza”. Pertama kaliistilah ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog
Prancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan
kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang
lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang
Eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas
berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua.
Atau ada yang berpendapat bahwa orang yang berkulit putih mempunyai misi suci
untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang dianggap sangat primitif. Hal
tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang sosial, ekonomi,
politik, dimana orang kulit hitang merupakan subordinasi orang kulit putih.
5.
Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka
diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan
oleh orang yang memiliki prasangka yang kuat akibat tekanan tertentu, misalnya
tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan
diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, disana
ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan, mak diskriminasi
adalah terapan keyakinan atau ideologi. jadi diskriminasi merupakan tindakan
yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap
kelompok subordinasinya.
6. Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan
kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka
perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Sebagai contoh: Ketika
terjadi depresi ekonomi diJerman, Hitler mengkambing hitamkan orang yahudi
sebagia penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di Negara itu. Ada satu
pabrik Auschwitz, Polandia yang digunakan untuk menbantai hampir 1,5 juta orang
yahudi. Tua muda, besar kecil, laki-laki dan perempuan dikumpulkan.
Kepala digunduli dan rambut yang
dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan
ke Jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa aria
adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan
umat manusia. Bangsa aria (Jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan
politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.
C. Problema
Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Beberapa
permasalahan awal Pembelajaran Berbasis Budaya pada tahap persiapan awal,
antara lain:
1) Guru
kurang mengenal budayanya sendiri, budaya local maupun budaya peserta didik;
2) Guru
kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didik,
terutamadalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkan;
3) Rendahnya
kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang
minat,ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya
masing-masing dalam konteks budaya masing-masing dalam konteks pengalaman
belajar yang diperoleh (Dikti, 2004:
5).
Pada
kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat
menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya
etnis peserta didiknya sangat beragam (Banks, 1997), antara lain :
1) Masalah
“seleksi dan integrasi isi”(content selection
and integration) mata pelajaran:
Ø Sejauh
mana guru mampu memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan
topik mata pelajaran.
Ø Sejauh
mana guru dapat mengintegrasikan budaya local dalam mata pelajaran yang
diajarkan, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik.
Empat
belas petunjuk berikut didesain untuk membantu anda dengan lebih baik dalam
mengintegrasikan isi tentang kelompok etnis ke dalam pembelajaran dalam
Pendidikan Multikultural:
1.
Guru adalah variable
yang amat penting dalam materi etnis. Jika anda memiliki pengetahuan,sikap,dan
keterampilan yang diperlukan, saat anda menghadapi materi rasial di dalam bahan
pelajaran atau mengobservasi rasisme dalam pernyataan dan perilaku siswa, anda
dapat menggunakan situasi ini untuk mengajarkan pelajaran penting tentang
pengalaman kelompok etnis tertentu.
2.
Pengetahuan tentang
kelompok etnis tertentu diperlukan untuk mengajarkan materi etnis secara
efektif.
3.
Sensitiflah dengan
sikap,perilaku rasial anda sendiri dan pernyataan yang anda buat disekitar
kelompok etnis kelas.
4.
Yakinkan bahwa kelas
anda membawa citra positif tentang berbagai kelompok etnis.
5.
Sensitiflah terhadap
sikap rasial dan etnis dari siswa anda dan jangan menerima keyakinan bahwa
“anak-anak tidak melihat ras,kelompok kaya/miskin,warna kulit.” Jangan mencoba
mengabaikan perbedaan ras dan etnis yang anda lihat cobalah merespon perbedaan
ini secara positif.
6.
Bijaksanalah dalam
pilihan anda dalam menggunakan materi pelajaran.
7.
Gunakan
buku,film,video, dan rekaman yang dijual dipasaran untuk pelengkap buku teks
dari kelompok etnis dan menyajikan perspektif kelompok etnis pada siswa anda.
8.
Berikan sentuhan
warisan budaya dan etnis anda sendiri.
9.
Sensitiflah dengan
kemungkinan sifat kontroversial dari sebagian materi studi etnis.
10. Sensitiflah
dengan tahap perkembangan siswa anda jika anda memilih konsep,materi, dan
aktifitas yang berkaitan dengan kelompok etnis.
11. Memandang
siswa kelompok minoritas anda sebagai pemenang. Siswa dari kelompok minoritas
ingin mencapai tujuan karakter dan akademis yang tinggi. Mereka membutuhkan
guru yang meyakini bahwa mereka dapat berhasil dan berkemauan untuk membantu
keberhasilan mereka. Baik riset maupun teori menunjukan bahwa siswa lebih
mungkin mencapai prestasi akademis tingggi jika guru mereka memiliki harapan akademis
yang tinggi untuk siswa-siswanya.
12. Ingatlah
bahwa orangtua dari siswa kelompok minoritas amat berminat dalam pendidikan dan
ingin anak-anak mereka berhasil secara akademis sekalipun orangtua mereka
terpinggirkan dari sekolah.
13. Gunakan
teknik belajar yang kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi
ras dan etnis disekolah dan dikelas.
14. Yakinkan
bahwa pemainan sekolah, pemandu sorak, publikasi sekolah, kelompok informal dan
formal yang lain berintegrasi secara parsial. Juga yakinkan bahwa berbagai
kelompok etnis dan rasial memiliki status yang sama di penampilan dan
presentasi sekolah. Dalam sekolah multirasial, jika semue pemegang peran
pembimbing disekolah diisi oleh karakter kulit putih, pesan penting dikirimkan
pada siswa dan orang dari siswa kulit bewarna betapa pun pesan itu
diintensifkan atau tidak.
2) Masalah
“proses mengkonstruksikan pengetahuan”(the knowledge contruction process)
a. Aspek
budaya manakh yang dapat dipilih sehingga dapat membantu peserta didik untuk
memahami konsep kunci secara lebih tepat.
b. Bagaimana
guru dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan
mengembangkannya dalam perspektif ilmiah.
c. Bagaiman
guru tidak bias dlam mengembangkan perspektif itu. Misalnya kincir air diambil
sebagai frame of reference dari khasnah budaya local(tradisional), tetapi dapat
dipakai untuk menjelaskan PLTA.
3)
Masalah”mengurangi
prasangka”(prejudice reduction)
a.
Bagaimana agar peserta
didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelarajan menjadi
tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok
tertentu. Dalam perlakuan ini muncul masalah kesetaraan status budaya peserta
didik yang budayanya jarang dijadikan media pembelajaran.
b.
Bagaiman agar guru
dapat mengusahakan “kerjasama” (cooperation) dan pengertian bahwa strategi
pemakaian budaya tertentu bukan merupakan “kompetisi”, tetapi sebuah
kebersamaan. Contoh jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah)
untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu
mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot(Jawa Barat), sangut(Bali), Dawala
dan Bawok (pesisir utara Jawa). Dengan ,engambil contoh yang sepadan, disamping
guru dapat menghindar”prasangka” bahwa dia mengutamakan unsure budaya tertentu.
Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling
memperkaya unsur budaya masing-masing.
4)
Masalah “kesetaraan
pedagogy”(equity paedagogy)
Masalah ini
muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu
dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan
atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai
sumber dan pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan
kesetaraan pedagogi. Guru harus memilih “khasanah budaya” mengenai berbagai
unsur budaya dalam tema tertentu, termasuk Tionghoa dan yang lainnya. Misal:
a.
Sastra Hikayat Rakyat
dengan tema durhaka. Contoh; Malin kundang (Minangkabau), Tangkuban Perahu
(Sunda), Loro Jonggrang (Yogyakarta).
b.
Obat-obatan :
jamu(Jawa), Minyak kayu putih (Maluku).
c.
Tekstil/tenun: Batik
(Jawa), kain ikat (Nusa Tenggara), songket (Melayu Deli, Palembang, Kalimantan,
Lombok, dan Bali).
d.
Perahu layar : Phinisi
(Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang Kuning (Melayu).
e.
Seni teater : Ludruk
(Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah ), Lenong (Betawi), Ketoprak
(Yogyakarta).
f.
Tokoh Pahlawan: Dewi
Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut meutia (Aceh ), Kartini (Jawa Tengah).
0 komentar:
Posting Komentar