Happy Cute Box Bear

PROBLEMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA



PROBLEMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

A. Problema Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
1. Keanekaragaman Identitas Budaya Daerah
Keanekaragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keanekaragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun indonesia yang multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lainnyabini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di indonesia dilatarbelakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untukditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk didalamnya melalui pendidikan multikultural. Dengan adanya pendidikan multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati, dan bisa saling berkomunikasi.
2. Pergeseran Kekuasaan Dari Pusat Ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, indonesia dihadpkan pada beragam tantangan baru yang kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasan dari pusat ke daerah membawa dampak bear terhadap pengakuan buday lokal dan keragamannya. Bila pada masa orde baru, kebijakan kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidal lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dekembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika suatu bersentuhan dengan kekuasan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuaasan ataupum melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnyanisu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntunan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang dierlukan  agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adlah adanya asa kesetaraan dan persamaan. Namun, bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri,keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antar orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.
3. Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyal dilakukan orang dengan menyamakan antara pancasila itu dengan ideologi orde baru yang harus ditinggalkan. Pada masa orde baru kebijakan disarankan terlalu tersentralisasi. Sehingga ketika orde baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar orde baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbaharui termasuk di dalanya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara edukatif , persuasif, dan manusiawi bukan dengan pegerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu ynag dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini
4. Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah aadlah fanatisme senpit, yang menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompk lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme yang sempit banyak menimbulkan korban dan banyak terjadi di tanah air. Gejala Bonek (bondo nekat) dikalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak  bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pelemparan pemain lawan dan pengerusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar setadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sngat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhikelompok lain dan nberprilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional indonesia yang kerap yerjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fantisme sempit. Aaplagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah) maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
5. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan  politik tertentu. Aadnya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerahan kekuatan bersenjata. Hl ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbeddaaan pendapat ini dapat di selesaikan dengan damai dan beradab.
6. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata diantara Kelompok Budaya
Kejadian yang Nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi, beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini. Apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat dibidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas dua puluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap dimedia masa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi utuk melakukan tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini Nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab dalan berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi symbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti paku ketika mobil itu di parker di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak darikelompok tertindas ini.

7. Keberpihakan yang Salah dari Media Masa, Khususnya Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa

Diantara media masa, tentu ada ideology yang sangat dijunjung tinggi dan sangat dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak public untuk mengetahui kehendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu, yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir dimedia masa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak dijual dan selalu mendapatkan perhatian publik, tetapi kalau terus menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini public yang negatif. Sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya barudan menjadi tren yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan.

B.  Problem Penyakit Budaya Prasangka, Stereotipe, Etnosentrisme, Rasisme, Diskriminasi, Dan Scape Gating
1. Prasangka
Menurut Allport, “prasangka adalah antipasti berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipasti itu bisa dirasakan atau dinyatakan. Antipasti juga bisa langsung ditunjukkan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu.” Allport sangat menekankan antipasti pada antipasti kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdsarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut rasisme, sedangkan yang berbasis etnis disebut etnisme.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, bila prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berfikir logis dan obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.
Definisi Allport ini disanggah oleh psikholog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter (authoritarian personality) mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selatan AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian, kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul dari pribadi berprasangka (prejudiced persons) yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berfikir tentang suatu stereotipe) dan konasi (kecenderungan berperikalu diskriminatif).
Prasangka didasarkan oleh sebab-sebab seperti:
a.    Generalisasi yang keliru pada perasaan.
b.    Stereotipe antaretnik
c.    Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “kami”.
2. Stereotipe
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif maupun negative. Verdeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap dan juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu. Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kcenderungan untuk memberi label atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau memandang rendah kelompok lain.
Untuk mengatasinya, kita perlu memberi informasi yang benar dan lebih komprehensif tentang sesuatu hal sehingga stereotipe tidak tumbuh. Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagai hal yang berkaitan dengan suku, ras, agama dan antar golongan. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tig aspek esensial dari stereotipe:
a.    Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaki, gender dan etnis. Misalnya wanita itu suka bersolek.
b.    Bentuk atau sifat perilaku turun temurun sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya orang Ambon itu keras.
c.    Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Stereotipe itu besifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok kita sendiri. Hewstone dab Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe:
a.    Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikhologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
b.    Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
c.    Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompoklain (out group).
d.   Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3. Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham-paham yang pertama kali diperkenalkan oleh Willian Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Ia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan ang antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.
4. Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa Prancis dan Italia “razza”. Pertama kaliistilah ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Prancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang Eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua. Atau ada yang berpendapat bahwa orang yang berkulit putih mempunyai misi suci untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang dianggap sangat primitif. Hal tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang sosial, ekonomi, politik, dimana orang kulit hitang merupakan subordinasi orang kulit putih.
5. Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka yang kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan, mak diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya.
6. Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Sebagai contoh: Ketika terjadi depresi ekonomi diJerman, Hitler mengkambing hitamkan orang yahudi sebagia penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di Negara itu. Ada satu pabrik Auschwitz, Polandia yang digunakan untuk menbantai hampir 1,5 juta orang yahudi. Tua muda, besar kecil, laki-laki dan perempuan dikumpulkan.
Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa aria (Jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.
C. Problema Pembelajaran Pendidikan Multikultural
            Beberapa permasalahan awal Pembelajaran Berbasis Budaya pada tahap persiapan awal, antara lain:
1)   Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya local maupun budaya peserta didik;
2)   Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didik, terutamadalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkan;
3)   Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat,ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-masing dalam konteks pengalaman belajar yang diperoleh (Dikti, 2004: 5).
Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam (Banks, 1997), antara lain :
1)   Masalah “seleksi dan integrasi isi”(content selection  and integration) mata pelajaran:
Ø Sejauh mana guru mampu memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran.
Ø Sejauh mana guru dapat mengintegrasikan budaya local dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik.
Empat belas petunjuk berikut didesain untuk membantu anda dengan lebih baik dalam mengintegrasikan isi tentang kelompok etnis ke dalam pembelajaran dalam Pendidikan Multikultural:
1.        Guru adalah variable yang amat penting dalam materi etnis. Jika anda memiliki pengetahuan,sikap,dan keterampilan yang diperlukan, saat anda menghadapi materi rasial di dalam bahan pelajaran atau mengobservasi rasisme dalam pernyataan dan perilaku siswa, anda dapat menggunakan situasi ini untuk mengajarkan pelajaran penting tentang pengalaman kelompok etnis tertentu.
2.        Pengetahuan tentang kelompok etnis tertentu diperlukan untuk mengajarkan materi etnis secara efektif.
3.        Sensitiflah dengan sikap,perilaku rasial anda sendiri dan pernyataan yang anda buat disekitar kelompok etnis kelas.
4.        Yakinkan bahwa kelas anda membawa citra positif tentang berbagai kelompok etnis.
5.        Sensitiflah terhadap sikap rasial dan etnis dari siswa anda dan jangan menerima keyakinan bahwa “anak-anak tidak melihat ras,kelompok kaya/miskin,warna kulit.” Jangan mencoba mengabaikan perbedaan ras dan etnis yang anda lihat cobalah merespon perbedaan ini secara positif.
6.        Bijaksanalah dalam pilihan anda dalam menggunakan materi pelajaran.
7.        Gunakan buku,film,video, dan rekaman yang dijual dipasaran untuk pelengkap buku teks dari kelompok etnis dan menyajikan perspektif kelompok etnis pada siswa anda.
8.        Berikan sentuhan warisan budaya dan etnis anda sendiri.
9.        Sensitiflah dengan kemungkinan sifat kontroversial dari sebagian materi studi etnis.
10.    Sensitiflah dengan tahap perkembangan siswa anda jika anda memilih konsep,materi, dan aktifitas yang berkaitan dengan kelompok etnis.
11.    Memandang siswa kelompok minoritas anda sebagai pemenang. Siswa dari kelompok minoritas ingin mencapai tujuan karakter dan akademis yang tinggi. Mereka membutuhkan guru yang meyakini bahwa mereka dapat berhasil dan berkemauan untuk membantu keberhasilan mereka. Baik riset maupun teori menunjukan bahwa siswa lebih mungkin mencapai prestasi akademis tingggi jika guru mereka memiliki harapan akademis yang tinggi untuk siswa-siswanya.
12.    Ingatlah bahwa orangtua dari siswa kelompok minoritas amat berminat dalam pendidikan dan ingin anak-anak mereka berhasil secara akademis sekalipun orangtua mereka terpinggirkan dari sekolah.
13.    Gunakan teknik belajar yang kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi ras dan etnis disekolah dan dikelas.
14.    Yakinkan bahwa pemainan sekolah, pemandu sorak, publikasi sekolah, kelompok informal dan formal yang lain berintegrasi secara parsial. Juga yakinkan bahwa berbagai kelompok etnis dan rasial memiliki status yang sama di penampilan dan presentasi sekolah. Dalam sekolah multirasial, jika semue pemegang peran pembimbing disekolah diisi oleh karakter kulit putih, pesan penting dikirimkan pada siswa dan orang dari siswa kulit bewarna betapa pun pesan itu diintensifkan atau tidak.
2)   Masalah “proses mengkonstruksikan pengetahuan”(the knowledge contruction process)
a.    Aspek budaya manakh yang dapat dipilih sehingga dapat membantu peserta didik untuk memahami konsep kunci secara lebih tepat.
b.    Bagaimana guru dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya dalam perspektif ilmiah.
c.    Bagaiman guru tidak bias dlam mengembangkan perspektif itu. Misalnya kincir air diambil sebagai frame of reference dari khasnah budaya local(tradisional), tetapi dapat dipakai untuk menjelaskan PLTA.
3)   Masalah”mengurangi prasangka”(prejudice reduction)
a.    Bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelarajan menjadi tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. Dalam perlakuan ini muncul masalah kesetaraan status budaya peserta didik yang budayanya jarang dijadikan media pembelajaran.
b.    Bagaiman agar guru dapat mengusahakan “kerjasama” (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan “kompetisi”, tetapi sebuah kebersamaan. Contoh jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot(Jawa Barat), sangut(Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa). Dengan ,engambil contoh yang sepadan, disamping guru dapat menghindar”prasangka” bahwa dia mengutamakan unsure budaya tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.
4)   Masalah “kesetaraan pedagogy”(equity paedagogy)
 Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan pedagogi. Guru harus memilih “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu, termasuk Tionghoa dan yang lainnya. Misal:
a.    Sastra Hikayat Rakyat dengan tema durhaka. Contoh; Malin kundang (Minangkabau), Tangkuban Perahu (Sunda), Loro Jonggrang (Yogyakarta).
b.    Obat-obatan : jamu(Jawa), Minyak kayu putih (Maluku).
c.    Tekstil/tenun: Batik (Jawa), kain ikat (Nusa Tenggara), songket (Melayu Deli, Palembang, Kalimantan, Lombok, dan Bali).
d.   Perahu layar : Phinisi (Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang Kuning (Melayu).
e.    Seni teater : Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah ), Lenong (Betawi), Ketoprak (Yogyakarta).
f.     Tokoh Pahlawan: Dewi Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut meutia (Aceh ), Kartini (Jawa Tengah).

0 komentar:



Posting Komentar